Dewasa berarti bisa menempatkan sesuatu secara tepat.
Jadi, kebanyakan orang tidak bisa dikatakan dewasa secara utuh.
Kebanyakan orang, dewasa pada beberapa sisi dan tidak dewasa pada sisi
yang lain. Tapi, dengan pembelajaran, sebuah kematangan-yaitu sisi
kedewasaan yang lebih banyak daripada sisi ketidakdewasaan- dapat
diraih. Sebuah kematangan yang ditandai dengan tercapainya sebagian
besar ciri-ciri kedewasaan.
Kedewasaan mempunyai ciri-ciri yaitu: sikap yang tepat, keberanian, kesabaran, tanggung jawab, percaya diri dan berpikir secara luas. Ini adalah penyederhanaan dari berbagai macam ciri. Ciri yang pertama, sikap yang tepat.
Orang yang ingin belajar untuk lebih dewasa harus mengetahui
bagaimana bersikap yang tepat pada kondisi, situasi dan orang yang
berbeda-beda. Bagaimana kita bersikap kepada yang lebih tua tentu
berbeda dengan bagaimana kita bersikap dengan kawan sebaya, apalagi
dengan yang lebih muda.
Juga bagaimana kita bersikap yang tepat pada kondisi yang
mengharuskan kita seperti itu. Cara kita berbicara, bertingkah,
bercanda, dan lain-lain juga harus secara tepat. Kita bisa mempelajari
hal ini di kitab Fiqhul Akhlaq wal Muamalat bainal Mu’minin karya Syaikh Mustafa Al ‘Adawy (Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Fiqih Akhlak, terbitan Qisthi Press)
Ciri yang kedua adalah keberanian. Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,
keberanian adalah salah satu bentuk kesabaran. Keberanian adalah
sikap menahan diri dan terus melangkah walaupun muncul ketakutan,
ketidakberdayaan, sedikit harapan dan rasa sakit. Jadi, keberanian
bukan hanya dalam bentuk kekerasan. Orang yang masih berjuang di tengah
kekurangan, adalah orang yang berani. Seorang pengusaha dengan modal
tidak seberapa adalah orang yang berani. Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya, karakter keberanian sebagai ciri kedewasaan, bisa kita
lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat, seekor ayam yang
penakutpun akan menjadi galak dan berani ketika mempunyai anak yang
masih kecil. Kita bisa mengambil hikmah dari hal ini, bahwa
karakteristik melindungi harus kita miliki agar salah satu ciri
kedewasaan terpenuhi.
Selain karakter melindungi, bentuk keberanian lain adalah kemandirian.
Seorang dewasa, akan sangat malu apabila selalu menggantungkan diri
kepada orang lain. Orang yang dewasa, akan berusaha melakukan sesuatu
dengan sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain. Coba Anda bayangkan,
ketika kita menikah, pastinya mau tidak mau kita harus mandiri. Tidak
boleh kita terus menerus bergantung kepada orang tua. Nah, itu
sebabnya saya katakan bahwa kemandirian adalah salah satu bentuk
keberanian. Walaupun begitu, ini tidak menafikkan sikap meminta
tolong, ketika batas kemampuan melingkupi. Coba Anda baca kembali
tulisan yang berjudul Meminta Tolong.
Selain karakter melindungi dan kemandirian, sebenarnya sikap
mengalah juga merupakan bentuk keberanian. Sifat mengalah adalah sebuah
keberanian yang dihiasi oleh kebijaksanaan. Dan bukan merupakan sifat
pecundang. Di dalam tulisan yang berjudul Alasan Mengalah, dikatakan
bahwa sifat mengalah harus menjadi karakter kita. Tapi, tidak
menafikkan tindakan membalas, apabila sikap orang lain sudah
keterlaluan. Orang yang bijaksana, mengetahui kapan harus mengalah dan
kapan harus membalas.
Ciri yang ketiga, kesabaran. Orang yang dewasa
adalah orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang menyenangkan
maupun yang tidak mengenakkan. Ketika ditimpa musibah, kita harus
bersabar. Ketika mendapatkan nikmat, bentuk kesabaran kita adalah
bersyukur dan menahan diri untuk tidak pamer, meluaskan hati kita untuk
berbagi dan bentuk kesabaran yang lain.
Diantara bentuk kesabaran adalah sikap tenang ketika ditimpa
musibah. Dengan tidak menjerit-jerit, menjambak rambut dan tindakan
negatif lainnya. Manusiawi ketika kita bersedih saat kehilangan
sesuatu, tapi diperlukan sebuah kesabaran dalam menyikapinya. Nah,
matang atau tidak matangnya pikiran kita bisa dilihat dari hal ini.
Memang sangat berat, oleh sebab itu kita harus meminta tolong kepada
Allah subhanahu wa Ta’ala.
Ciri yang keempat adalah tanggung jawab. Tanggung
jawab mempunyai arti menjaga dan menunaikan amanah yang diberikan
dengan sebaik-baiknya. Setiap manusia mempunyai amanah yang harus ia
jaga. Tubuh adalah amanah, keluarga adalah amanah, pekerjaan adalah
amanah dan masih banyak lagi. Ketika manusia sudah tidak mau menjaga
dan menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya, yang terjadi adalah
kerusakan.
Oleh sebab itu, alangkah lucunya ketika ada orang yang tidak sanggup
menjaga sebuah amanah, tetapi meminta amanah itu diberikan kepadanya.
Apa yang terjadi ketika yang dinamakan amanah itu adalah sebuah
masyarakat yang majemuk dalam hal keyakinan, budaya dan pikiran?
Hmmm, sepertinya terlalu berat membahas itu, lebih baik kita
membahas tentang menjaga amanah sebagai bentuk kedewasaan saja.
Tanggung jawab atau menjaga amanah ini adalah salah satu ciri yang
membedakan seorang dewasa dengan seorang yang belum dewasa. Semakin
dewasa seseorang, semakin bertanggung jawablah dia. Sebab, dia
mengetahui bahwa segala sesuatu ketika dijaga dan ditunaikan dengan
sebaik-baiknya, niscaya mendapat hasil yang baik (kecuali Allah
subhanahu wa Ta’ala berkehendak lain).
Seperti petani yang menjaga tanamannya, dia rawat dengan
sebaik-baiknya. Dia jauhkan dari hama dan burung yang mengganggu.
Hasilnya, dia menunggu dengan optimis. Begitupun amanah, ketika dia
jaga dengan baik-baik, dia tunaikan dengan baik-baik, hasilnya bisa dia
petik dengan penuh optimis. Tapi orang yang bijaksana, tidak begitu
mementingkan hasil. Mereka bertanggung jawab karena memang mereka
mencintainya sebagai sebuah proses.
Ciri yang kelima adalah kepercayaan diri. Saya
tidak menyebutkan percaya diri berarti percaya dengan kemampuan diri
sendiri. Saya lebih senang mendefinisikannya sebagai sebuah harapan
positif bahwa kita bisa melakukan sesuatu. Ini sebagai sebuah bentuk
kerendahhatian kita terhadap Allah subhanahu wa Ta’ala, sebab segala
sesuatu adalah milikNya, segala yang kita dapatkan adalah karena
karuniaNya.
Berbicara mengenai kepercayaan diri, CR Snyder, professor klinis dari University of Kansas,
saat meneliti 200 mahasiswa tingkat awal menemukan bahwa mahasiswa
yang memiliki harapan positif memiliki prestasi lebih baik dan mampu
menyelesaikan kuliah lebih cepat daripada mahasiswa yang berpikiran
negatif terhadap masa depan mereka. Selain itu, Lewis Curry, Phd, profesor psikologi olahraga dari University of Montana,
menguji 106 atlet perempuan, menemukan bahwa atlet yang sukses dalam
pertandingan adalah mereka yang memiliki harapan positif terhadap
prestasinya. Sebaliknya, mereka yang berpikiran negatif menghasilkan
sikap pesimis, dan cenderung gagal meraih hasil yang gemilang.**
Begitupun terhadap orang yang ingin menjadi lebih dewasa, harus
mempunyai harapan positif untuk itu. Sebab, hal tersebut merupakan salah
satu kekuatan dan pondasi yang diperlukan. Ketika kekuatan dan
pondasi tersebut rapuh, dikhawatirkan akan ambruk. Kata ambruk adalah
kiasan dari kegagalan dalam meraih kematangan. Kata ini juga bisa
berarti, tidak adanya kepercayaan dari orang lain kepada kita.
Bagaimana bisa kita berharap agar orang lain percaya kepada kita,
sedang kepada diri sendiri saja tidak mempercayainya.
Ciri yang terakhir, berpikir secara luas. Kita pernah membahasnya beberapa bulan yang lalu. Coba Anda baca kembali.
sumber : http://duadua.blogdetik.com/2011/01/05/belajar-untuk-lebih-dewasa-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar